BAB II
PEMBAHASAN
1. KITAB JAMI’
Menurut
etimologinya, al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga dapat dipahami
bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal. Karena itulah,
menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam, yaitu:
a.
Dilihat dari segi pokok kandungan hadis yang dihimpunnya,
pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang disusun dan dibukukan oleh
pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Di antaranya masalah iman,
thaharah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab,
penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan antara
kitab al-jami’ dan kitab al-Musannaf. Karena hanya disusun berdasarkan
permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalan fikih, sedangkan
al-Jami’ lebih umum.
b.
Dilihat dari segi sumber rujukan hadis-hadis yang
dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun
hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab hadis yang telah ada.
Hanya
saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya yang
pertama yaitu kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadis-hadis dari
berbagai sendi ajaran Islam.
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih
al-Bukhari (194-256 H), kitab tersebut ia beri nama “al-Jami’ al-Musnad
al-Sahih al-Mukhtasar min umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa
sunanihi wa ayyamihi. kitab tersebut dinamakan al-Jami’ karena
di dalamnya mencakup masalah yang beraneka ragam, termasuk persoalan hukum,
politik, dan sebagainya.
2. KITAB SHAHIH
Kitab hadist shahih
ialah kitab yang berisi hadist- hadist shahih saja. Seperti kitab hadist
yang terkenal yaitu
shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim.
Shahih Al Bukhary
adalah kitab yang mula- mula yang membukukan hadist- hadist shahih. Kebanyakan
ulama hadist sepakat menetapkan bahwa shahih Bukhary itu adalah seshahih-
shahih kitab sesudah Al- Qur’an.
3. KITAB SUNAN
Yang
dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan
bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan
berisi hadits marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf.
(Ar-Risalah al-Mustathrafah, al-Kutabi, h.32, dengan perubahan redaksi).
a.
Sunan Abu Dawud
Penulisnya
adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq
bin Basyir bin Syiddad bin Amar bin Azdi as Sijistani atau lebih dikenal
dengan Abu Dawud as-Sijistani rahimahullahu, seorang Imam dan tokoh ahli hadits
dari Sijistan, Bashrah. Beliau lahir pada 202 dan wafat tahun 275. beliau juga
memiliki banyak karya diantaranya adalah : al-Marasil, kitab
al-Qodar, an-nasikh wal Mansukh, Fadha’ilul ’Amal, Kitab az-Zuhd, Dalailun
Nubuwah, Ibtda’ul Wahyi dan Akhbarul Khowarij.
Al-Imam
Abu Dawud di dalam menulis kitab ini tidak hanya memuat hadits shahih saja,
namun beliau juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak dibuang oleh
ulama hadits. Beberapa ulama mengkritik Sunan Abu Dawud karena ditengarai
memuat hadits maudhu’ diantaranya adalah Imam Ibnul Jauzi. Beliau mengatakan
bahwa ada beberapa hadits maudhu’ dalam Sunan Abu Dawud ini, namun kritikan
beliau ini dibantah oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi (w. 911). Biar bagaimanapun,
ribuan hadits yang shahih dalam Sunan Abu Dawud tidaklah memperngaruhi nilai
keabsahan Sunan Abu Dawud sebagai kitab hadits ketiga setelah Shahih Bukhari
dan Muslim yang dijadikan mashdar oleh kaum muslimin dan kitab Sunan yang
paling diutamakan diantara kitab sunan lainnya.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu Dawud
adalah sebanyak 4.800 hadits,
sebagian ulama menghitungnya sebanyak
5.274 hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang menghitung hadits
yang diulang sebagai satu hadits dan sebagian lagi menghitungnya sebagai dua
hadits. Abu Dawud membagi Sunannya dalam beberapa kitab dan tiap kitab dibagi
menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah diantaranya ada 3 kitab
yang tidak dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah babnya ada 1.871 bab.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
hafizhahullahu dalam Kaifa Nastafiidu minal Kutubil Haditsiyah (hal. 18)
berkata : ”Kitab Sunan karya Abu Dawud ini adalah kitab yang sangat agung, yang
diperkaya oleh penulisnya di dalamnya hadits-hadits ahkam dan mentartibnya
serta memaparkannya berdasarkan urutan bab-bab yang menunjukkan atas kefakihan
dan kedalamannya terhadap ilmu riwayah dan diroyah.”
Beberapa ulama mensyarah dan meneliti Sunan Abu Dawud ini,
diantaranya :
1.
Ma’alimus Sunan yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim
al-Busti al-Khaththabi (w. 388) yang merupakan syarah sederhana dengan mengupas
masalah bahasa, penelitian terhadap riwayat, istinbath hukum dan pembahasan
adab.
2.
Aunul Ma’bud ’ala Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Syamsul Haq
Muhammad Asyraf bin Ali Haidar ash-Shiddiqi al-Azhim Abadi as-Salafi (ulama
abad ke-14) dalam 4 jilid besar.
3.
al-Manhalu Adzbu al-Maurid yang ditulis oleh Syaikh Mahmud bin
Khaththab as-Subki (w. 1352). Beliau juga meneliti dan memilah serta
menjelaskan derajat hadits-hadist yang shahih, hasan maupun dhaif.
4.
al-Mujtaba Tahdzib Sunan Abi Dawud oleh al-Imam al-Hafizh Abdul Azhim
al-Mundziri (w. 656) yang meringkas, menyusun kembali dan menyebutkan
perawi-peraei lain yang juga meriwayatkan hadits di dalam Sunan Abu Dawud,
serta beliau menunjukkan beberapa hadits dhaif di dalamnya.
5.
Ta’liq al-Mujtaba oleh Syaikhul Islam kedua, Imam
Ibnul Qayyim (w. 751) yang memberikan Komentar tentang kelemahan hadits yang
dijelaskan oleh al-Mundziri, menegaskan keshahihah hadits yang belum
dishahihkan serta membahas matan yang musykil.
Demikianlah sekilas penjelasan
seputar Sunan Abu Dawud, dan telah jelaslah bahwa tidak semua hadits yang
dimuat oleh Imam Abu Dawud as-Sijistani di dalam Sunan-nya adalah shahih. Oleh
karena itu al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani meneliti kembali derajat
hadits-hadits di dalam Sunan Abu Dawud dan menuliskannya sebagai kitab Shahih
Sunan Abu Dawud dan dhaifnya.
b. Sunan an-Nasa’i
Penulisnya adalah Abu Abdurrahman
Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan al-Khurasani. Lahir tahun 215 dan
wafat tahun 303 menurut pendapat Syamsudin adz-Dzahabi dan Abu Ja’far
ath-Thohawi. Beliau adalah ulama hadits terkemuka di masanya, seorang yang
sangat teliti dan memiliki persyaratan yang ketat di dalam menerima hadits.
Beliau memiliki beberapa karya dinataranya as-Sunanul Kubra, as-Sunanus
Shughra (juga dikatakan al-Mujtaba), al-Khashaish, Fadhailus
Shahabah dan al-Manasik.
Imam Nasa’i sangat cermat di dalam
menyusun Sunanus Shughra ini yang beliau tulis setelah menyusun Sunanul Kubra.
Beliau berupaya hanya menghimpun yang shahih saja di dalam kitab Sunan-nya ini.
Namun Syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzi mengatakan bahwa ada sekitar sepuluh buah
hadits maudhu’ di dalamnya, walau imam Jalaludin as-Suyuthi membantahnya.
Namun, biar bagaimanapun terdapat sedikit hadits dhaif di dalam Sunan-nya ini.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad di dalam kaifa Nastafiidu (hal. 22) berkata
: ”Kitab ini adalah kitab yang agung tingkatannya, banyak bab-babnya, dan penjelasan
akan bab-babnya menunjukkan fakihnya penulisnya, bahkan sungguh diantaranya
menampakkan kedalaman dan kecermatan Imam Nasa’i di dalam beritinbath.”
Sunan an-Nasa’i ini menghimpun
sejumlah 51 kitab dan haditsnya berjumlah
5774 hadits. Adapun mengenai syarah an-Nasa’i, sesungguhnya masih sangat
sedikit sekali walaupun kitab ini sudah berumur hampir 600 tahun. Al-Hafizh
Jalaludin as-Suyuthi memberikan syarah yang sangat singkat yang berjudul Zihar
ar-Rubba ’alal Mujtaba yang meneliti para perawi, menjelaskan sebagian
lafazh dan hadits gharib serta menerangkan mengenai hukum dan adab yang
terkandung di dalam hadits Sunan. Selain as-Suyuthi, juga seorang muhaddits
India yang bernama al-Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi
as-Sindi (w. 1138) memberikan syarah yang lebih sempurna dibandingkan syarah
as-Suyuthi.
c. Sunan at-Tirmidzi
Penulisnya adalah al-Imam Abu Isa
Muhammad bin Musa bin ad-Dhahhak as-Sulami at-Turmudzi dari Tirmidz, Iran
Utara. Beliau adalah seorang imam ahli hadits yang kuat hafalannya, amanah dan
teliti. Beliau lahir pada tahun 209 dan pada akhir hidupnya menjadi buta dan
wafat tahun 279. Beliau memiliki beberapa karangan diantaranya adalah Kitabul
Jami’ (lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzi), al-’Illat, at-Tarikh,
asy-Syamail an-Nabawiyah, az-Zuhd dan al-Asma’ wal Kuna.
d. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir
tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan
seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus
Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Beliau menyusun kitabnya dengan
sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits.
Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan
hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi
mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun
disanggah oleh as-Suyuthi.
1.
KITAB AL- MUSHANNAF
Musannaf dari aspek etimologinya berasal dari kata صنّف – يصنّف – تصنيفا yang berarti menggolong-golongkan,
membagi-bagi menurut jenisnya. Sehingga musannaf memiliki makna
“sesuatu yang tersusun”.
Pengertian
Musannaf menurut terminologi, adalah sebuah kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab-bab permasalahan tertentu. Misalnya saja bab-bab fikih yang
mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’, atau di
dalamnya terdapat hadis Nabi saw, perkataan sahabat, fatwa-fatwa tabi’in, dan
terkadang fatwa tabi’ut tabi’in.
Menurut
ulama mutaqaddimin, pengertian musannaf adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab-bab fikih semata. Akan tetapi seiring dengan perkembangan masa,
pengertian Musannaf dikembalikan ke makna dasarnya yaitu “sesuatu yang
tersusun” sehingga bagi ulama muta’akhirin, pengertian musannaf adalah
kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu tanpa harus dibatasi pada
bab fikih saja.
Di
antara kitab-kitab Musannaf tersebut adalah;
Al-Musannaf karya Imam Zaid bin Ali al Washithi Abu Khalid (w. 72 H.).
Zaid menyusun hadis Nabi berdasarkan persoalan fikih dan hukum. Kitabnya sering
dinakaman dengan musnad karena semua riwayat yang disebutkan semuanya
disandarkan pada Imam Zaid, sering pula dinamakan al-Majmu’ karena kitab
tersebut mengumpulkan hadis, perkataan dan beberapa fatwa. Hanya saja perlu
diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalamnya semuanya bersumber dari
jalur Zaid dari bapaknya dari kakeknya dari Ali bin Abi
Thalib.
Al-Musannaf karya Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al Humairi al
Shan’ani (126-211 H). Sesuai dengan namanya, kitab ini tersusun berdasarkan
bab-bab fikih sehingga ia diawali dengan pembahasan thaharah dan seterusnya, di
mana jumlahnya terdiri atas 136 bab. Di dalamnya juga terdapat hadis shahih dan
dhaif serta hadis yang memiliki kecacatan.
Al-Musannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah
al-Kufi. Kitab ini termasuk kitab Syarh al-Atsar, karena di dalamnya
dicantumkan banyak hadis dan atsar shahabat. Hanya saja Ibnu Abi Syaibah tidak
terlalu selektif dalam menghimpun hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat. Hampir
semua hadis dan atsar shahabat dimasukkan ke dalamnya, baik yang berstatus
shahih, hasan, maupun dhaif. Akan tetapi, tentu saja ia tidak memasukkan
hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat yang jelas-jelas palsu. Kitab ini pun
disusun berdasarkan bab-bab fikih karena memang Ibnu Abi Syaibah hidup di
sebuah masa ketika fikih sedang mengalami kejayaan. Pada masa tersebut, banyak
mahdzab fikih bermunculan. Karenanya, di dalam kitabnya, ia sering mengutip
pendapat atau pernyataan para ulama mengenai persoalan tertentu, tanpa melalui
seleksi yang ketat. Sehingga di dalamnya ditemukan ada hadis dan atsar yang
berkualitas munqati’, mu’dal, ma’lul dan mursal.
2.
KITAB MUWATTA’
pengertian
Muwatta' menurut etimogi, “sesuatu yang dimudahkan”sehingga ada indikasi bahwa
kitab tersebut merupakan sebuah kitab himpunan hadis yang memberikan kemudahan
kepada pembacanya. Pengertian Muwatta' menurut terminologi adalah kitab yang
tersusun berdasarkan urutan bab-bab fikih dan mencakup hadis-hadis marfu’,
mauquf dan maqtu’.
Tampak
bahwa Pengertian Musannaf dan pengertian Muwatta tidak memiliki perbedaan
kecuali dari aspek penyebutannya saja. Karena itulah kitab Muwatta’
semisal karya Imam Malik bin Anas sering juga disebut sebagai al-Musannaf.
Akan
tetapi, seiring dengan adanya ungkapan ikhtilaf al-ma’ani bi ikhtilaf
al-mabani “perbedaan makna disebabkan oleh perbedaan kosa-kata” maka
sekalipun kedua kata tersebut (musannaf dan muwatta’) sama
tentunya tetap ada perbedaan di sana. Sehingga penulis, dalam melihat perbedaan
tersebut menekankan pada latar belakang peristilahan tersebut. Artinya istilah musannaf
lahir dari aspek metodologi penyusunannya, sedangkan muwatta’
dilatarbelakangi urgensi dan tujuannya. Karena musannaf adalah sesuatu
yang tersusun berdasarkan masalah-masalah tertentu sementara muwatta’
adalah sesuatu yang memberikan kemudahan.
3.
KITAB MUSNAD
Menurut
etimologi, musnad berarti “sesuatu yang disandarkan pada sumbernya”
Sehingga di sini dipahami bahwa kitab musnad merupakan kumpulan hadis
yang semuanya tersusun dengan sebuah sandaran tertentu. Sedangkan menurut
terminologinya, Kitab Musnad adalah sebuah kitab hadis yang disusun
berdasarkan nama perawi pertama.
Metodologi
urutan nama perawi pertama tersebut berbeda-beda sesuai dengan keinginan
penyusun setiap kitab musnad, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah
misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim kemudian kabilah-kabilah yang lebih
dekat dengan Nabi dari aspek nasab dan keturunannya. Ada yang berdasarkan nama
sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk Islam, termasuk di antaranya adalah
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), di mana ia memulai menyusun kitabnya
yang diawali dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian ahlu
bait dan seterusnya. Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan urutan
huruf alfabet setiap nama sahabat, termasuk di dalamnya kitab musnad yang
dikarang oleh Baqi bin Makhlad al Qurthubi (w. 276 H). Adapula yang menyusun
kitab musnad berdasarkan daerah tempat tinggal sahabat, termasuk di dalamnya
adalah Musnad al-Syamiyyin karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu
al-Qasim al-Thabrani. Adapula yang hanya membatasi pada seoprang sahabat saja,
termasuk di antaranya adalah Musnad ‘Aisyah karya Ibnu Abi Daud, Musnad Umar bin Khattab karya Ibn al-Najjad.
Musnad-musnad
yang terdapat dalam kitab musnad tersebut, tidak hanya berisi kumpulan hadis
shahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, dan tidak
berurutan berdasarkan bab-bab fikih, karena urutan tersebut harus menggabungkan
musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya. Hal ini akan
mempersulit bagi orang yang ingin mempelajarinya karena kesulitan mendapatkan
hadis-hadis hukum fikih itu sendiri atau hadis-hadis tentang suatu permasalahan
tertentu.
Di
antara keistimewaan yang dimiliki oleh kitab musnad adalah kitab tersebut hanya
mencakup hadis-hadis yang berasal dari nabi, artinya tidak terdapat di dalamnya
perkataan sahabat atau tabi’in apalagi fatwa tabi’ut tabi’in kecuali sedikit
saja. Kedua, di dalam kitab musnad sudah tidak ada ditemukan tambahan-tambahan
dari penulisnya kecuali sedikit saja. Misalnya saja musnad al-Humaidi,
di sana ia dan gurunya terkadang memberikan komentar terhadap riwayat yang
disampaikan.
4.
KITAB MUSTADRAK
Kitab Hadis yang mengumpulkan
Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara
sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana
Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh
Bukhari dan Muslim.
Kitab ini tidak boleh dibaca begitu
saja, tetapi mesti bersama dengan takhrijnya oleh al-Zahabi. Antara contoh
kitab-kitab mustadrak yang lain adalah seperti Mustadrak Hafiz Ahmad
al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab Mustadarak ialah: Supaya kita
tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa yang terkandung di dalam Sahih
al-Bukhari dan Muslim sahaja.
5.
KITAB MUSTAKHRAJ
Mengumpulkan Hadis-hadis yang sama
dalam satu kitab tetapi sanadnya berlainan di mana sanadnya bertemu dengan
syeikh kitab asalnya (gurunya) seperti Hadis tentang niat.
Contoh kitab Mustakhraj ialah Mustakhraj Abu ‘Awanah `Ala
Sahih Muslim.
Ada juga yang hanya membawa Hadis-hadis tersebut tetapi
tidak membawa sanadnya. Beliau cuma menyebut kitab-kitab yang menyebut tentang
perawinya. Tujuannya adalah: Supaya Hadis-hadis tersebut akan lebih meyakinkan
dengan banyaknya para perawi yang meriwayatkan Hadis tersebut.
Contoh lain juga ialah Mustakhraj ala Sahihain:
1.
Mustakhraj atas kitab Sahih Muslim oleh Abu Ja`far bin
Hamdan, Abu Bakar al-Jauzaqi, Abi Imran Musa bin Abbas, Abi Said bin Utsman dan
sebagainya.2.
2.
Mustkhraj ke atas Bukhari saja seperti karangan al-Ismaili,
Abu Abdillah dan lain-lain.
Ada juga Mustakhraj atas al-Tirmizi
oleh Abi Ali al-Tusi, Mustakhraj atas Abu Daud, Kitab al-Tauhid
karangan Ibn Khuzaimah. Bagaimanapun mereka tidak beriltizam tentang
kesahihannya.
Ada juga yang mentakrifkan
Mustakhraj yang mana sanadnya bertemu dengan tabi`in tetapi ada iktilaf
mengenainya. Faedah penyusunan kitab Mustakhraj:
1.
Ketinggian sanad- ia ditulis untuk menunjukkan sanadnya
lebih tinggi dari kitab asal seperti Muslim. Contoh Abu `Awanah dalam kitabnya Mustakhraj
Abu ‘Awanah yang mengambil sanad Hadis tersebut atas lagi daripada guru
Muslim.
2.
Menunjukkan kekuatan Hadis itu. Contohnya jika Hadis itu
hanya disebutkan di dalam Sunan Abu Daud saja, tetapi tidak diriwayatkan oleh
orang lain. Sekiranya Hadis tersebut terdapat dalam Sunan Abu Daud itu pula
bertentangan dengan Hadis yang lain, maka ia perlukan penguat. Dengan adanya
kitab Mustakhraj, kita dapat mencari penguat-penguatnya yang lain supaya proses
pentarjihan dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, kitab Mustakhraj penting
sebagai penguat apabila riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
3.
Menerangkan sanad yang tidak jelas. Contohnya pada peringkat
permulaan seseorang perawi itu masih kuat ingatannya tetapi semasa menghampiri
akhir hayatnya ia menjadi seorang yang mukhtalit (nyanyuk). Dengan itu
dapat dipastikan bilakah sebuah Hadis itu diambil sama dengan ketika ingatannya
masih kuat atau selepas menjadi nyanyuk. Contohnya perawi Bukhari dan Muslim,
Hisyam bin Urwah bin Zubair yang nyanyuk selepas berhijrah ke Iraq.
- Kitab asal riwayat dari mudallis
yang dikira daif sekiranya menggunakan lafaz ‘an. tetapi
dengan adanya Mustakhraj, adanya sanad lain yang mengunakan lafaz yang
menunjukkan dengan jelas yang dia mendengar Hadis.
- Riwayat secara mubham-
yaitu perawi yang tidak dijelaskan namanya seperti ‘haddatsana
rajulun min ahli bait’. Tidak diketahui siapa ‘rajulun’ itu?
Nama perawi mubham akan diketahui apabila memeriksa kitab
Mustakhraj.
- Mengetahui siapakah orang yang
disebut namanya secara muhmal tanpa kunyahnya-contoh Muhammad.
Muhammad yang mana
- Isnad asal ada `illah yang sukar untuk diselesaikan tanpa berpandukan kepada riwayat yang bebas `illah. Contohnya perawi tersebut dituduh sebagai Syiah, Irja’dan sebagainya.
sangat bermanfaat.jazakallah khairon
BalasHapusIzin mas untuk referensi tugas kuliah, terimakasih
BalasHapus