Kamis, 02 Mei 2013

MACAM- MACAM KITAB HADIST


BAB II
PEMBAHASAN
1.    KITAB JAMI’
Menurut etimologinya, al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal. Karena itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam, yaitu:
a.    Dilihat dari segi pokok kandungan hadis yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Di antaranya masalah iman, thaharah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan antara kitab al-jami’ dan kitab al-Musannaf. Karena hanya disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalan fikih, sedangkan al-Jami’ lebih umum.
b.    Dilihat dari segi sumber rujukan hadis-hadis yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab hadis yang telah ada.
Hanya saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya yang pertama yaitu kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadis-hadis dari berbagai sendi ajaran Islam.
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H), kitab tersebut ia beri nama “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi. kitab tersebut dinamakan al-Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.


2.    KITAB SHAHIH
Kitab hadist shahih ialah kitab yang berisi hadist- hadist shahih saja. Seperti kitab hadist
yang terkenal yaitu shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim.
Shahih Al Bukhary adalah kitab yang mula- mula yang membukukan hadist- hadist shahih. Kebanyakan ulama hadist sepakat menetapkan bahwa shahih Bukhary itu adalah seshahih- shahih kitab sesudah Al-  Qur’an.

3.    KITAB SUNAN
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadits marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf. (Ar-Risalah al-Mustathrafah, al-Kutabi, h.32, dengan perubahan redaksi). 
a.    Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syiddad bin Amar bin Azdi as Sijistani atau lebih dikenal dengan Abu Dawud as-Sijistani rahimahullahu, seorang Imam dan tokoh ahli hadits dari Sijistan, Bashrah. Beliau lahir pada 202 dan wafat tahun 275. beliau juga memiliki banyak karya diantaranya adalah : al-Marasil, kitab al-Qodar, an-nasikh wal Mansukh, Fadha’ilul ’Amal, Kitab az-Zuhd, Dalailun Nubuwah, Ibtda’ul Wahyi dan Akhbarul Khowarij.
Al-Imam Abu Dawud di dalam menulis kitab ini tidak hanya memuat hadits shahih saja, namun beliau juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak dibuang oleh ulama hadits. Beberapa ulama mengkritik Sunan Abu Dawud karena ditengarai memuat hadits maudhu’ diantaranya adalah Imam Ibnul Jauzi. Beliau mengatakan bahwa ada beberapa hadits maudhu’ dalam Sunan Abu Dawud ini, namun kritikan beliau ini dibantah oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi (w. 911). Biar bagaimanapun, ribuan hadits yang shahih dalam Sunan Abu Dawud tidaklah memperngaruhi nilai keabsahan Sunan Abu Dawud sebagai kitab hadits ketiga setelah Shahih Bukhari dan Muslim yang dijadikan mashdar oleh kaum muslimin dan kitab Sunan yang paling diutamakan diantara kitab sunan lainnya.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu Dawud adalah sebanyak 4.800 hadits, sebagian ulama menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits dan sebagian lagi menghitungnya sebagai dua hadits. Abu Dawud membagi Sunannya dalam beberapa kitab dan tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah diantaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah babnya ada 1.871 bab.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullahu dalam Kaifa Nastafiidu minal Kutubil Haditsiyah (hal. 18) berkata : ”Kitab Sunan karya Abu Dawud ini adalah kitab yang sangat agung, yang diperkaya oleh penulisnya di dalamnya hadits-hadits ahkam dan mentartibnya serta memaparkannya berdasarkan urutan bab-bab yang menunjukkan atas kefakihan dan kedalamannya terhadap ilmu riwayah dan diroyah.”
Beberapa ulama mensyarah dan meneliti Sunan Abu Dawud ini, diantaranya :
1.    Ma’alimus Sunan yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim al-Busti al-Khaththabi (w. 388) yang merupakan syarah sederhana dengan mengupas masalah bahasa, penelitian terhadap riwayat, istinbath hukum dan pembahasan adab.
2.    Aunul Ma’bud ’ala Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Syamsul Haq Muhammad Asyraf bin Ali Haidar ash-Shiddiqi al-Azhim Abadi as-Salafi (ulama abad ke-14) dalam 4 jilid besar.
3.    al-Manhalu Adzbu al-Maurid yang ditulis oleh Syaikh Mahmud bin Khaththab as-Subki (w. 1352). Beliau juga meneliti dan memilah serta menjelaskan derajat hadits-hadist yang shahih, hasan maupun dhaif.
4.    al-Mujtaba Tahdzib Sunan Abi Dawud oleh al-Imam al-Hafizh Abdul Azhim al-Mundziri (w. 656) yang meringkas, menyusun kembali dan menyebutkan perawi-peraei lain yang juga meriwayatkan hadits di dalam Sunan Abu Dawud, serta beliau menunjukkan beberapa hadits dhaif di dalamnya.
5.    Ta’liq al-Mujtaba oleh Syaikhul Islam kedua, Imam Ibnul Qayyim (w. 751) yang memberikan Komentar tentang kelemahan hadits yang dijelaskan oleh al-Mundziri, menegaskan keshahihah hadits yang belum dishahihkan serta membahas matan yang musykil.
Demikianlah sekilas penjelasan seputar Sunan Abu Dawud, dan telah jelaslah bahwa tidak semua hadits yang dimuat oleh Imam Abu Dawud as-Sijistani di dalam Sunan-nya adalah shahih. Oleh karena itu al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani meneliti kembali derajat hadits-hadits di dalam Sunan Abu Dawud dan menuliskannya sebagai kitab Shahih Sunan Abu Dawud dan dhaifnya.
b.    Sunan an-Nasa’i
Penulisnya adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan al-Khurasani. Lahir tahun 215 dan wafat tahun 303 menurut pendapat Syamsudin adz-Dzahabi dan Abu Ja’far ath-Thohawi. Beliau adalah ulama hadits terkemuka di masanya, seorang yang sangat teliti dan memiliki persyaratan yang ketat di dalam menerima hadits. Beliau memiliki beberapa karya dinataranya as-Sunanul Kubra, as-Sunanus Shughra (juga dikatakan al-Mujtaba), al-Khashaish, Fadhailus Shahabah dan al-Manasik.
Imam Nasa’i sangat cermat di dalam menyusun Sunanus Shughra ini yang beliau tulis setelah menyusun Sunanul Kubra. Beliau berupaya hanya menghimpun yang shahih saja di dalam kitab Sunan-nya ini. Namun Syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzi mengatakan bahwa ada sekitar sepuluh buah hadits maudhu’ di dalamnya, walau imam Jalaludin as-Suyuthi membantahnya. Namun, biar bagaimanapun terdapat sedikit hadits dhaif di dalam Sunan-nya ini. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad di dalam kaifa Nastafiidu (hal. 22) berkata : ”Kitab ini adalah kitab yang agung tingkatannya, banyak bab-babnya, dan penjelasan akan bab-babnya menunjukkan fakihnya penulisnya, bahkan sungguh diantaranya menampakkan kedalaman dan kecermatan Imam Nasa’i di dalam beritinbath.”
Sunan an-Nasa’i ini menghimpun sejumlah 51 kitab dan haditsnya berjumlah 5774 hadits. Adapun mengenai syarah an-Nasa’i, sesungguhnya masih sangat sedikit sekali walaupun kitab ini sudah berumur hampir 600 tahun. Al-Hafizh Jalaludin as-Suyuthi memberikan syarah yang sangat singkat yang berjudul Zihar ar-Rubba ’alal Mujtaba yang meneliti para perawi, menjelaskan sebagian lafazh dan hadits gharib serta menerangkan mengenai hukum dan adab yang terkandung di dalam hadits Sunan. Selain as-Suyuthi, juga seorang muhaddits India yang bernama al-Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi as-Sindi (w. 1138) memberikan syarah yang lebih sempurna dibandingkan syarah as-Suyuthi.
c.    Sunan at-Tirmidzi
Penulisnya adalah al-Imam Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dhahhak as-Sulami at-Turmudzi dari Tirmidz, Iran Utara. Beliau adalah seorang imam ahli hadits yang kuat hafalannya, amanah dan teliti. Beliau lahir pada tahun 209 dan pada akhir hidupnya menjadi buta dan wafat tahun 279. Beliau memiliki beberapa karangan diantaranya adalah Kitabul Jami’ (lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzi), al-’Illat, at-Tarikh, asy-Syamail an-Nabawiyah, az-Zuhd dan al-Asma’ wal Kuna.
      
d.     Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.

1.    KITAB AL- MUSHANNAF
Musannaf dari aspek etimologinya berasal dari kata صنّفيصنّفتصنيفا yang berarti menggolong-golongkan, membagi-bagi menurut jenisnya. Sehingga musannaf memiliki makna “sesuatu yang tersusun”.
Pengertian Musannaf menurut terminologi, adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab permasalahan tertentu. Misalnya saja bab-bab fikih yang mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’, atau di dalamnya terdapat hadis Nabi saw, perkataan sahabat, fatwa-fatwa tabi’in, dan terkadang fatwa tabi’ut tabi’in.
Menurut ulama mutaqaddimin, pengertian musannaf adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fikih semata. Akan tetapi seiring dengan perkembangan masa, pengertian Musannaf dikembalikan ke makna dasarnya yaitu “sesuatu yang tersusun” sehingga bagi ulama muta’akhirin, pengertian musannaf adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu tanpa harus dibatasi pada bab fikih saja.
Di antara kitab-kitab Musannaf tersebut adalah;
Al-Musannaf karya Imam Zaid bin Ali al Washithi Abu Khalid (w. 72 H.). Zaid menyusun hadis Nabi berdasarkan persoalan fikih dan hukum. Kitabnya sering dinakaman dengan musnad karena semua riwayat yang disebutkan semuanya disandarkan pada Imam Zaid, sering pula dinamakan al-Majmu’ karena kitab tersebut mengumpulkan hadis, perkataan dan beberapa fatwa. Hanya saja perlu diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalamnya semuanya bersumber dari jalur Zaid dari bapaknya dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib.
Al-Musannaf karya Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ al Humairi al Shan’ani (126-211 H). Sesuai dengan namanya, kitab ini tersusun berdasarkan bab-bab fikih sehingga ia diawali dengan pembahasan thaharah dan seterusnya, di mana jumlahnya terdiri atas 136 bab. Di dalamnya juga terdapat hadis shahih dan dhaif serta hadis yang memiliki kecacatan.
Al-Musannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi. Kitab ini termasuk kitab Syarh al-Atsar, karena di dalamnya dicantumkan banyak hadis dan atsar shahabat. Hanya saja Ibnu Abi Syaibah tidak terlalu selektif dalam menghimpun hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat. Hampir semua hadis dan atsar shahabat dimasukkan ke dalamnya, baik yang berstatus shahih, hasan, maupun dhaif. Akan tetapi, tentu saja ia tidak memasukkan hadis-hadis dan atsar-atsar shahabat yang jelas-jelas palsu. Kitab ini pun disusun berdasarkan bab-bab fikih karena memang Ibnu Abi Syaibah hidup di sebuah masa ketika fikih sedang mengalami kejayaan. Pada masa tersebut, banyak mahdzab fikih bermunculan. Karenanya, di dalam kitabnya, ia sering mengutip pendapat atau pernyataan para ulama mengenai persoalan tertentu, tanpa melalui seleksi yang ketat. Sehingga di dalamnya ditemukan ada hadis dan atsar yang berkualitas munqati’, mu’dal, ma’lul dan mursal.

2.    KITAB MUWATTA’
pengertian Muwatta' menurut etimogi, “sesuatu yang dimudahkan”sehingga ada indikasi bahwa kitab tersebut merupakan sebuah kitab himpunan hadis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya. Pengertian Muwatta' menurut terminologi adalah kitab yang tersusun berdasarkan urutan bab-bab fikih dan mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf dan maqtu’.
Tampak bahwa Pengertian Musannaf dan pengertian Muwatta tidak memiliki perbedaan kecuali dari aspek penyebutannya saja. Karena itulah kitab Muwatta’ semisal karya Imam Malik bin Anas sering juga disebut sebagai al-Musannaf.
Akan tetapi, seiring dengan adanya ungkapan ikhtilaf al-ma’ani bi ikhtilaf al-mabani “perbedaan makna disebabkan oleh perbedaan kosa-kata” maka sekalipun kedua kata tersebut (musannaf dan muwatta’) sama tentunya tetap ada perbedaan di sana. Sehingga penulis, dalam melihat perbedaan tersebut menekankan pada latar belakang peristilahan tersebut. Artinya istilah musannaf lahir dari aspek metodologi penyusunannya, sedangkan muwatta’ dilatarbelakangi urgensi dan tujuannya. Karena musannaf adalah sesuatu yang tersusun berdasarkan masalah-masalah tertentu sementara muwatta’ adalah sesuatu yang memberikan kemudahan.

3.    KITAB MUSNAD
Menurut etimologi, musnad berarti “sesuatu yang disandarkan pada sumbernya” Sehingga di sini dipahami bahwa kitab musnad merupakan kumpulan hadis yang semuanya tersusun dengan sebuah sandaran tertentu. Sedangkan menurut terminologinya, Kitab Musnad adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama perawi pertama.
Metodologi urutan nama perawi pertama tersebut berbeda-beda sesuai dengan keinginan penyusun setiap kitab musnad, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim kemudian kabilah-kabilah yang lebih dekat dengan Nabi dari aspek nasab dan keturunannya. Ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk Islam, termasuk di antaranya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), di mana ia memulai menyusun kitabnya yang diawali dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian ahlu bait dan seterusnya. Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan urutan huruf alfabet setiap nama sahabat, termasuk di dalamnya kitab musnad yang dikarang oleh Baqi bin Makhlad al Qurthubi (w. 276 H). Adapula yang menyusun kitab musnad berdasarkan daerah tempat tinggal sahabat, termasuk di dalamnya adalah Musnad al-Syamiyyin karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu al-Qasim al-Thabrani. Adapula yang hanya membatasi pada seoprang sahabat saja, termasuk di antaranya adalah Musnad ‘Aisyah karya Ibnu Abi Daud, Musnad Umar bin Khattab karya Ibn al-Najjad.
Musnad-musnad yang terdapat dalam kitab musnad tersebut, tidak hanya berisi kumpulan hadis shahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, dan tidak berurutan berdasarkan bab-bab fikih, karena urutan tersebut harus menggabungkan musnad setiap sahabat tanpa melihat obyek pembahasan riwayatnya. Hal ini akan mempersulit bagi orang yang ingin mempelajarinya karena kesulitan mendapatkan hadis-hadis hukum fikih itu sendiri atau hadis-hadis tentang suatu permasalahan tertentu.
Di antara keistimewaan yang dimiliki oleh kitab musnad adalah kitab tersebut hanya mencakup hadis-hadis yang berasal dari nabi, artinya tidak terdapat di dalamnya perkataan sahabat atau tabi’in apalagi fatwa tabi’ut tabi’in kecuali sedikit saja. Kedua, di dalam kitab musnad sudah tidak ada ditemukan tambahan-tambahan dari penulisnya kecuali sedikit saja. Misalnya saja musnad al-Humaidi, di sana ia dan gurunya terkadang memberikan komentar terhadap riwayat yang disampaikan.

4.    KITAB MUSTADRAK
Kitab Hadis yang mengumpulkan Hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh seseorang pengarang sebelumnya secara sengaja atau tidak. Contohnya kitab Mustadarak al-Hakim setebal 4 jilid di mana Hadis-hadis tersebut dikumpul menepati syarat-syarat yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitab ini tidak boleh dibaca begitu saja, tetapi mesti bersama dengan takhrijnya oleh al-Zahabi. Antara contoh kitab-kitab mustadrak yang lain adalah seperti Mustadrak Hafiz Ahmad al-Maliki. Tujuan penyusunan kitab  Mustadarak ialah: Supaya kita tidak menganggap Hadis sahih hanyalah apa yang terkandung di dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim sahaja.

5.    KITAB MUSTAKHRAJ
Mengumpulkan Hadis-hadis yang sama dalam satu kitab tetapi sanadnya berlainan di mana sanadnya bertemu dengan syeikh kitab asalnya (gurunya) seperti Hadis tentang niat.
Contoh kitab Mustakhraj ialah Mustakhraj Abu ‘Awanah `Ala Sahih Muslim.
Ada juga yang hanya membawa Hadis-hadis tersebut tetapi tidak membawa sanadnya. Beliau cuma menyebut kitab-kitab yang menyebut tentang perawinya. Tujuannya adalah: Supaya Hadis-hadis tersebut akan lebih meyakinkan dengan banyaknya para perawi yang meriwayatkan Hadis tersebut.
Contoh lain juga ialah Mustakhraj ala Sahihain:
1.    Mustakhraj atas kitab Sahih Muslim oleh Abu Ja`far bin Hamdan, Abu Bakar al-Jauzaqi, Abi Imran Musa bin Abbas, Abi Said bin Utsman dan sebagainya.2.
2.    Mustkhraj ke atas Bukhari saja seperti karangan al-Ismaili, Abu Abdillah dan lain-lain.
Ada juga Mustakhraj atas al-Tirmizi oleh Abi Ali al-Tusi, Mustakhraj atas Abu Daud, Kitab al-Tauhid karangan Ibn Khuzaimah. Bagaimanapun mereka tidak beriltizam tentang kesahihannya.
Ada juga yang mentakrifkan Mustakhraj yang mana sanadnya bertemu dengan tabi`in tetapi ada iktilaf mengenainya. Faedah penyusunan kitab Mustakhraj:
1.    Ketinggian sanad- ia ditulis untuk menunjukkan sanadnya lebih tinggi dari kitab asal seperti Muslim. Contoh Abu `Awanah dalam kitabnya Mustakhraj Abu ‘Awanah yang mengambil sanad Hadis tersebut atas lagi daripada guru Muslim.
2.    Menunjukkan kekuatan Hadis itu. Contohnya jika Hadis itu hanya disebutkan di dalam Sunan Abu Daud saja, tetapi tidak diriwayatkan oleh orang lain. Sekiranya Hadis tersebut terdapat dalam Sunan Abu Daud itu pula bertentangan dengan Hadis yang lain, maka ia perlukan penguat. Dengan adanya kitab Mustakhraj, kita dapat mencari penguat-penguatnya yang lain supaya proses pentarjihan dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, kitab Mustakhraj penting sebagai penguat apabila riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
3.    Menerangkan sanad yang tidak jelas. Contohnya pada peringkat permulaan seseorang perawi itu masih kuat ingatannya tetapi semasa menghampiri akhir hayatnya ia menjadi seorang yang mukhtalit (nyanyuk). Dengan itu dapat dipastikan bilakah sebuah Hadis itu diambil sama dengan ketika ingatannya masih kuat atau selepas menjadi nyanyuk. Contohnya perawi Bukhari dan Muslim, Hisyam bin Urwah bin Zubair yang nyanyuk selepas berhijrah ke Iraq.
  1. Kitab asal riwayat dari mudallis yang dikira daif sekiranya menggunakan lafaz  ‘an. tetapi dengan adanya Mustakhraj, adanya sanad lain yang mengunakan lafaz yang menunjukkan dengan jelas yang dia mendengar Hadis.
  2. Riwayat secara mubham- yaitu perawi yang tidak dijelaskan namanya seperti  ‘haddatsana rajulun min ahli bait’. Tidak diketahui siapa ‘rajulun’ itu? Nama perawi mubham akan diketahui apabila memeriksa kitab Mustakhraj.
  3. Mengetahui siapakah orang yang disebut namanya secara muhmal tanpa kunyahnya-contoh Muhammad. Muhammad yang mana
  4. Isnad asal ada `illah yang sukar untuk diselesaikan tanpa berpandukan kepada riwayat yang bebas `illah. Contohnya perawi tersebut dituduh sebagai Syiah, Irja’dan sebagainya.

Sumber : Dari berbagai referensi.
    Jadi hanya itu saja teman- teman Semoga bermanfaat


2 komentar: